Sabtu, 30 Agustus 2008

ANTARA POST POWER SINDROME & MENCARI KEHENDAK ALLAH (Bilangan 27:12-23 ; Kolose 1:9b)

Seringkali kita mendengar istilah “Post Power Sindrome”. Yakni gejala psikologis atau kejiwaan yang muncul tatkala seseorang turun dari kekuasaan atau jabatan tinggi yang dimilikinya sebelumnya. Sehingga walaupun ia sudah turun jabatan dan menjadi “orang biasa” tetap merasa memiliki kuasa bahkan cenderung mengatur orang lain. Post Power Sindrome bisa muncul dimana saja. Di keluarga, masyarakat, bahkan di gereja. Dan bisa dibayangkan apa yang terjadi jika dalam suatu persekutuan terdapat orang yang memiliki gejala ini. Biasanya akan terjadi konflik dan rasa tidak suka satu dengan yang lain.

Orang yang Post Power Sindrome biasanya kurang bahkan tidak menghargai kepemimpinan orang lain, apalagi yang menjadi pemimpin adalah bekas anak buahnya atau yang usianya lebih muda. Namun istilah Post Power Sindrome ini tidak berlaku dalam kehidupan Nabi Musa. Nabi yang besar, pemimpin Israel yang ternama, ketika Ia diperintahkan Allah untuk menyelasaikan tugasnya sebagai pemimpin Israel dan menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada orang lain. Bagi Musa yang terpenting adalah Ia mengikuti apa yang menjadi kehendak Allah (pemimpin yang sesungguhnya). Seperti apa sikap dan tindakan Musa? Mari kita lihat lebih jauh Bilangan 27:12-23.
Dalam Bilangan 27:12-23, terdapat 3 poin utama, yakni:
1. Allah tidak memperkenankan Musa memasuki tanah perjanjian (ay. 12-14)
Musa tidak diperkenankan Allah untuk memasuki tanah perjanjian (Kanaan) dan hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Baca ayat 12-13. Mengapa Musa tidak diperkenankan Allah memasuki Kanaan? Dalam ayat 14 katakan: Karena pada waktu pembantahan umat itu di padang gurun Zin, kamu … telah memberontak terhadap titah-Ku… (Untuk lebih jelas baca: Bilangan 20:2-13) Dari sini kita bisa melihat, ada 2 hal yang tidak berkenan di hati Allah (Bil.20:12), yakni ketika seseorang:
a. Tidak mempercayai-Nya
Tidak percaya kepada-Nya berarti meragukan kuasa-Nya. Dan lebih mengandalakan kekuatan dirinya (manusia). Yeremia 17: 5-6b katakan: Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik

b. Tidak menghormati kekudusan-Nya
Allah berfirman: Kuduslah kamu sebab Aku Kudus. Kekudusan bukan menyangkut sikap hati semata. Tetapi juga perilaku kita di hadapan Tuhan. Misalnya ketika kita menghadap Allah dalam ibadah. Sudahkah kita menjaga kekudusan kita. Tak sedikit orang Kristen yang menganggap rumah Allah ini adalah rumah sendiri yang bisa diperlakukan seenaknya. Barang inventaris gereja adalah juga miliknya yang bisa dipergunakan seenaknya sehingga kalau ditegur marah. Ketika kebaktian ngobrol, ketika pemberitaan firman makan permen, ketika doa syafaat keluar untuk cari angin sambil merokok dulu. Apakah itu sikap hormat kita akan kekudusan Allah? Menghormati kekudusan Allah bukan sekedar dalam hati tapi juga dinampakan dari sikap dan perbuatan yang memuliakan dan menguduskan-Nya.

2. Sikap Musa terhadap keputusan Allah (ay. 15-17)
Lalu bagaimana dengan sikap Musa? Marah, kecewa, ngambek? Baca ay. 15-17. Bisa saja sebagai manusia ia merasa sakit hati, kecewa. Puluhan tahun membawa umat Israel keluar dari Mesir, menjadi pengembara di padang pasir dalam perjalanan menuju tanah perjanjian tapi ketika akan masuk justru tidak diizinkan masuk. Ternyata ia tidak marah atau pun kecewa tapi ia dengan rendah hati memikirkan dan peduli dengan masa depan bangsanya  ia tidak egois.
Musa justru meminta agar Allah memilihkan seseorang dari umat Israel menjadi penggantinya. Inilah sikap yang harusnya ditunjukkan oleh kita ketika ada pergantian kepemimpinan. Bukan rasa suka atau tidak suka tapi mementingkan kepentingan bersama. Dalam gereja misalnya kita harus memikirkan kepentingan Jemaat dan tentu saja memikirkan apa yang dikehendaki Tuhan.

3. Yosua dipilih Allah untuk menjadi pengganti Musa (ay. 18-23)

Allah selanjutnya memilih Yosua bin Nun untuk menggantikan Musa. Seorang muda tapi memiliki motivasi yang tulus sehingga dipilih Allah. Musa pun tidak perlu bersikap jutek, ia tidak iri hati atau menjadi oposisi. Tapi melaksanakan perintah Tuhan dengan benar
Di hadapan imam Eleazar, Musa meletakan tangannya atas Yosua sebagai tanda ia menyerahkan estafet kepemimpinan dengan penuh ketulusan.

Kolose 1:9b katakan: “Kami meminta, supaya kamu menerima segala hikmat dan pengertian yang benar, untuk mengetahu kehendak Tuhan dengan sempurna” (Kol. 1:9b). Kehendak Tuhan terkadang berbeda dengan kehendak kita. Seperti Musa tentu saja rindu untuk bisa memasuki tanah perjanjian tapi Tuhan menghendaki lain. Kehendak Tuhan tentulah yang terbaik, dalam kehidupan kita. Yang kita perlukan hanyalah hikmat dan pengertian dalam ketulusan hati dan kerendahan hati untuk mencari dan melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya. Amin.

Selasa, 19 Agustus 2008

ARTI GEREJA YANG SESUNGGUHNYA


1. Apa itu Gereja?
a. Gereja Sebagai Sebuah Persekutuan
Dalam bahasa Yunani, gereja disebut ekklesia (ek=keluar, kaleo=memanggil). Secara harafiah berarti memanggil keluar. Yang menjadi subyek dari kata memanggil keluar dalam pengertian ini adalah Allah. Sehingga pengertian dari ekklesia adalah persekutuan dari orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan masuk ke dalam terang-Nya yang ajaib (I Petrus 2:9-10) Atau secara singkat gereja adalah persekutuan orang-orang percaya.
b. Gereja sebagai tempat bersekutu
Walaupun kekristenan memahami bahwa gereja bukanlah gedung atau tempat melainkan orangnya, toh seringkali kita memahami dan merujuk gereja sebagai tempat umat bersekutu. Yang pasti dimana ada umat bersekutu didalam Kristus disitulah gereja berada.

2. Gambaran tentang gereja
Alkitab khususnya Perjanjian Baru menggunakan istilah gereja dengan bermacam-macam gambaran, antara lain:
a. Bangunan Allah (I Kor. 3:9; 17:2; Ef.2:20-22; I Tim. 3:15) yang dipakai untuk menggambarkan keberadaan gereja, sebab Kristus sendiri merupakan batu penjuru dari bangunan ini (Mat. 16:18; I Kor. 3:11; I Ptr 2:6-7).
b. Tubuh Kristus (Ef. 1:22-23). Gambaran gereja sebagai tubuh Kristus yang ditekankan adalah kesatuan. Satu hal yang nampak jelas dari tubuh yaitu kesatuan. Meskipun dalam tubuh banyak terdapat keanekaragaman (kaki, mulut, tangan, dll) namun segala pertentangan ditiadakan. Rasul Paulus dalam Kolose 1:18 mengatakan bahwa Kristus-lah yang menjadi Kepala atas tubuh yakni Gereja. Semua anggota dipersatukan di dalam Dia, sehingga tubuh itu menjadi tanda keterikatan dalam persekutuan yang mendalam. Dalam Roma 12:4, dikatakan tidak semua anggota mempunyai tugas yang sama. Jadi gereja sebagai tubuh Kristus, di dalam cara hidupnya harus menampakan hidup Kristus, melalui kata-kata dan perbuatan yang harus diterangi oleh terang Kristus.

3. Sifat Gereja
a. Kudus
Kata “Kudus” berasal dari bahasa Ibrani qadosy yang berarti disendirikan, diasingkan, dipisahkan dari yang lain, berbeda dari yang lain. Kekudusan Gereja bukan karena ia kudus adanya, tetapi karena dikuduskan oleh Kristus. Rasul Paulus menyebutkan bahwa Jemaat adalah mereka yang dikuduskan di dalam Kristus (Fil.1:1 ; 1 Kor. 1:2 ; Ef. 1:1). Gereja adalah kudus, diasingkan tapi bukan “mengasingkan diri” karena Gereja disuruh ke dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus. Adanya Gereja di dunia ini ialah untuk dipakai dalam karya penyelamatan Allah.
b. Am
Gereja adalah am, khatolik, universal, tersebar di seluruh dunia. Am berarti umum, oleh sebab itu Gereja “menerobos” segala pembatas dan memiliki perpektif yang umum. Gereja sebagai yang am harus bersifat universal sebab kasih Allah itu ditujukan kepada dunia. Jadi Gereja bukan dan janganlah jadi suatu “golongan elite”. Gereja tidak terbatas pada suatu daerah/ suku/ bangsa atau bahasa tertentu tapi meliputi seluruh dunia (2 Kor. 5,19). Gereja tidak terbatas pada suatu zaman, tapi meliputi zaman yang lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.


c. Persekutuan Orang Percaya/Kudus
Kata Persekutuan orang Kudus diterjemahkan dari Communio Sanctorum. Kata sanctorum berasal dari kata sancta atau sanctus yang berarti barang-barang atau orang-orang kudus. Sedangkan kata communion berarti persekutuan. Sehingga ungkapan gereja sebagai persekutuan orang kudus harus dipandang sebagai persekutuan di dalam Kristus oleh Roh Kudus. Jadi, gereja bukan terdiri dari orang-orang yang telah sempurna melainkan terdiri dari orang-orang berdosa sekalipun telah dikuduskan. Maka ungkapan “persekutuan orang Kudus” harus dipandang sebagi suatu tugas yang masih harus diperjuangkan dan itu senantiasa mempunyai arti yang konkret dalam kenyatan hidup di dunia ini. Gereja sebagai persekutuan orang kudus mengarah kepada persekutuan dengan Kristus, persekutuan yang berdasarkan kasih, bahwa kita harus saling mengasihi karena Allah telah mengasihi kita (I Yoh. 4:11; II Yoh. 5; I Kor 12:26)
d. Satu
Gereja adalah kesatuan umat Kristen, tempat bersekutu sesuai dengan kehendak Yesus Kristus, kepala gereja. Satu dalam memberitakan Injil (Mat. 28,18-20), satu dalam mengemban misi, mengasihi sesama dan mengasihi Tuhan (Mat.22,37-40), satu dalam iman dan pengharapan(Ef. 4:4-5). Oleh sebab itu dalam kepelbagaian kita, Tuhan mempersatukan kita. Di dalam kepelbagaian itu kita dapat bersatu menampakkan kepatuhan kita sebagai Gereja kepada Tuhan Yesus (Yoh. 17, 21).

(bersambung …..)

Senin, 18 Agustus 2008

Membangun dan Mengembangkan Kompetensi Anak dalam Keluarga
(Amsal 23:23)



Di sebuah Koran ditulis berita bahwa pemerintah daerah DKI akan meningkatkan kompetensi para guru dengan berbagai pelatihan dan sekolah lanjutan.

Istilah kompetensi seringkali kita dengar dan seolah penting saat ini.
Kompetensi berasal dari kata kompeten yang berarti cakap (mengetahui, mampu atau menguasai suatu hal baik persoalan atau pekerjaan). Seseorang dikatakan kompeten apabila ia memiliki kecakapan dan tahu serta menguasai suatu pekerjaan atau persoalan tertentu. Misalnya: ketika ada kasus korupsi di DPR maka para wartawan akan mencari tanggapan dari tokoh-tokoh yang kompeten di bidang kepemerintahan; atau ada kasus pembunuhan maka para kriminolog atau psikolog yang akan diminta tanggapan. Atau pencarian karyawan di sebuah perusahaan computer maka akan dicari orang yang mampu menguasai computer bukan orang yang gaptek.

Kompetensi seseorang tidak datang begitu saja, tetapi harus diasah dan menjalani sebuah proses yang panjang. Misalnya untuk menjadi seorang dokter, ia harus kuliah selama 4-5 tahun, lalu koas selama 2 tahun dilanjutkan dengan PTT selama 1-2 tahun. Begitu juga profesi yang lainnya termasuk Pendeta.Karena itulah para orangtua menyekolahkan anak mereka di sekolah-sekolah terbaik agar anaknya memiliki kecakapan/kompetensi. Sekolah ibarat investasi masa depan. Karena itu orangtua rela kerja keras, banting tulang bahkan mengeluarkan biaya atau uang yang tidak sedikit untuk biaya studi anaknya, dengan harapan sang anak memiliki kecakapan sehingga memiliki prestasi yang baik dan bekal yang cukup untuk masa depannya. (Walaupun seringkali para orangtua dibuat kecewa karena anak mereka tidak serius belajar bahkan menyia-nyiakan kesempatan dengan tidak mau sekolah: bolos, membuat masalah di sekolah, berpacaran lupa belajar)

Kompetensi atau kecakapan itu tidak gratis tapi ada cost atau biaya yang harus dikeluarkan. (Saya sempat lihat-lihat brosur bimbel atau kursus-kursus untuk pelajar ternyata lumayan mahal, saya masih ingat dulu untuk bimbel biaya yang harus dikeluarkan Rp.75.000/bulan, saat itu pun cukup berat. Sekarang bahkan bisa 10x lipat bahkan ada yang jutaaan per bulan untuk paket lengkap bimbel)

Dalam Firman yang kita baca saat ini dikatakan “Belilah kebenaran dan jangan menjualnya; demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian”. Beli atau membeli adalah sebuah tindakan untuk memperoleh sesuatu dengan membayar sejumlah uang. Misalnya kita membeli baju di pasar, maka ada barang yang kita dapat tapi ada uang yang keluar. Kalau ada barang yang di dapat tapi tidak ada uang yang keluar, namanya apa? Lawan kata membeli adalah menjual, yakni sebuah tindakan mengurangi atau melepaskan apa yang kita miliki dengan menerima sejumlah uang tertentu.
FT katakan kebenaran, hikmat, didikan dan pengertian harus dibeli bukan dijual. Artinya apa untuk menumbukan suatu kebenaran dalam diri sesorang, hikmat, didikan dan pengertian tida bisa datang begitu saja. Itu semua harus diperjuangkan, diusahakan bahkan ada harga yang harus kita bayar. Harga di sini bukan uang semata tapi kesediaan diri kita untuk memberi diri terlibat dalam sebuah proses yang di dalamnya memerlukan pengorbanan: waktu, kesabaran, materi, dsb.

Jika dikatakan kita ingin memiliki anak yang memiliki kompetensi atau kecakapan, maka kita bukan sekedar berbicara soal aspek intelektualitas saja (pintar dalam hal akademis, selalu juara kelas tapi juga memiliki kematangan spiritual. Karena percuma kita punya anak yang selalu ranking satu tapi tidak mau menghormati orang tua. Percuma anak kita cerdas dalam studi tapi memiliki interpersonal yang buruk.
Untuk itu diperlukan peran serta dan keterlibatan dari orangtua untuk bisa berproses dengan sang anak. Jangan sekali-kali orangtua menyerahkan proses pendidikan ke sekolah saja atau pun pendidikan spiritual ke gereja saja.

Persoalan yang seringkali muncul adalah para orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dengan alasan bekerja demi memenuhi kebutuhan anak. Di satu sisi benar tapi di sisi lain ini bisa menimbulkan masalah. Karena yang anak perlukan bukan sekedar uang tapi juga perhatian dan kasih sayang.

Para orangtua harus bisa pandai mengatur waktu agar kebutuhan anak akan perhatian orangtua terpenuhi. Orangtua di sini bukan hanya Ibu tapi juga Ayah. Persekutuan keluarga harus ditumbukan dan dikembangkan. Saya masih ingat tradisi keluarga setiap pagi kita makan pagi bersama, diawali doa bersama. Dan malamnya kita ada mezbah keluarga, setiap anggota bergantian untuk membaca Firman dan memimpin puji-pujian, dan Sang Ayah akan mangadakan sharing kepada keluarga khususnya anak-anak. Inilah seharusnya tempat curhat anak-anak kita. Dan kita bisa memberi atau membantu solusi untuk mereka. Tapi untuk konteks sekarang di Bekasi akan banyak tantangan. Macet, belum pulang, dsb. Tapi itulah tantangan yang harus dijawab. Bagamana orangtua harus mau berproses. Mau membayar harga bahkan berkorban demi sang anak. Celakanya banyak orangtua yang bertahan dengan model didikan lama yang otoriter, tidak mau merangkul anak, istilah anak muda sekarang jaim (jaga imej) atau jawa wibawa, tidak ada komunikasi yang terbuka dengan anak alias bicara seperlunya. Bahkan tak sedikit yang berkonflik sehingga si anak memilih “kabur” dari rumah mencari kebebasan dan teman-teman yang “senasib”. Timbulah gank-gank anak muda, komunitas Punk, para Junkies, yang identik dengan kebebasan, narkoba dan free seks. Apakah itu yang kita harapkan terjadi pada anak-anak kita?

foto dari http://www.co.mendocino.ca.us