Senin, 18 Agustus 2008

Membangun dan Mengembangkan Kompetensi Anak dalam Keluarga
(Amsal 23:23)



Di sebuah Koran ditulis berita bahwa pemerintah daerah DKI akan meningkatkan kompetensi para guru dengan berbagai pelatihan dan sekolah lanjutan.

Istilah kompetensi seringkali kita dengar dan seolah penting saat ini.
Kompetensi berasal dari kata kompeten yang berarti cakap (mengetahui, mampu atau menguasai suatu hal baik persoalan atau pekerjaan). Seseorang dikatakan kompeten apabila ia memiliki kecakapan dan tahu serta menguasai suatu pekerjaan atau persoalan tertentu. Misalnya: ketika ada kasus korupsi di DPR maka para wartawan akan mencari tanggapan dari tokoh-tokoh yang kompeten di bidang kepemerintahan; atau ada kasus pembunuhan maka para kriminolog atau psikolog yang akan diminta tanggapan. Atau pencarian karyawan di sebuah perusahaan computer maka akan dicari orang yang mampu menguasai computer bukan orang yang gaptek.

Kompetensi seseorang tidak datang begitu saja, tetapi harus diasah dan menjalani sebuah proses yang panjang. Misalnya untuk menjadi seorang dokter, ia harus kuliah selama 4-5 tahun, lalu koas selama 2 tahun dilanjutkan dengan PTT selama 1-2 tahun. Begitu juga profesi yang lainnya termasuk Pendeta.Karena itulah para orangtua menyekolahkan anak mereka di sekolah-sekolah terbaik agar anaknya memiliki kecakapan/kompetensi. Sekolah ibarat investasi masa depan. Karena itu orangtua rela kerja keras, banting tulang bahkan mengeluarkan biaya atau uang yang tidak sedikit untuk biaya studi anaknya, dengan harapan sang anak memiliki kecakapan sehingga memiliki prestasi yang baik dan bekal yang cukup untuk masa depannya. (Walaupun seringkali para orangtua dibuat kecewa karena anak mereka tidak serius belajar bahkan menyia-nyiakan kesempatan dengan tidak mau sekolah: bolos, membuat masalah di sekolah, berpacaran lupa belajar)

Kompetensi atau kecakapan itu tidak gratis tapi ada cost atau biaya yang harus dikeluarkan. (Saya sempat lihat-lihat brosur bimbel atau kursus-kursus untuk pelajar ternyata lumayan mahal, saya masih ingat dulu untuk bimbel biaya yang harus dikeluarkan Rp.75.000/bulan, saat itu pun cukup berat. Sekarang bahkan bisa 10x lipat bahkan ada yang jutaaan per bulan untuk paket lengkap bimbel)

Dalam Firman yang kita baca saat ini dikatakan “Belilah kebenaran dan jangan menjualnya; demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian”. Beli atau membeli adalah sebuah tindakan untuk memperoleh sesuatu dengan membayar sejumlah uang. Misalnya kita membeli baju di pasar, maka ada barang yang kita dapat tapi ada uang yang keluar. Kalau ada barang yang di dapat tapi tidak ada uang yang keluar, namanya apa? Lawan kata membeli adalah menjual, yakni sebuah tindakan mengurangi atau melepaskan apa yang kita miliki dengan menerima sejumlah uang tertentu.
FT katakan kebenaran, hikmat, didikan dan pengertian harus dibeli bukan dijual. Artinya apa untuk menumbukan suatu kebenaran dalam diri sesorang, hikmat, didikan dan pengertian tida bisa datang begitu saja. Itu semua harus diperjuangkan, diusahakan bahkan ada harga yang harus kita bayar. Harga di sini bukan uang semata tapi kesediaan diri kita untuk memberi diri terlibat dalam sebuah proses yang di dalamnya memerlukan pengorbanan: waktu, kesabaran, materi, dsb.

Jika dikatakan kita ingin memiliki anak yang memiliki kompetensi atau kecakapan, maka kita bukan sekedar berbicara soal aspek intelektualitas saja (pintar dalam hal akademis, selalu juara kelas tapi juga memiliki kematangan spiritual. Karena percuma kita punya anak yang selalu ranking satu tapi tidak mau menghormati orang tua. Percuma anak kita cerdas dalam studi tapi memiliki interpersonal yang buruk.
Untuk itu diperlukan peran serta dan keterlibatan dari orangtua untuk bisa berproses dengan sang anak. Jangan sekali-kali orangtua menyerahkan proses pendidikan ke sekolah saja atau pun pendidikan spiritual ke gereja saja.

Persoalan yang seringkali muncul adalah para orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dengan alasan bekerja demi memenuhi kebutuhan anak. Di satu sisi benar tapi di sisi lain ini bisa menimbulkan masalah. Karena yang anak perlukan bukan sekedar uang tapi juga perhatian dan kasih sayang.

Para orangtua harus bisa pandai mengatur waktu agar kebutuhan anak akan perhatian orangtua terpenuhi. Orangtua di sini bukan hanya Ibu tapi juga Ayah. Persekutuan keluarga harus ditumbukan dan dikembangkan. Saya masih ingat tradisi keluarga setiap pagi kita makan pagi bersama, diawali doa bersama. Dan malamnya kita ada mezbah keluarga, setiap anggota bergantian untuk membaca Firman dan memimpin puji-pujian, dan Sang Ayah akan mangadakan sharing kepada keluarga khususnya anak-anak. Inilah seharusnya tempat curhat anak-anak kita. Dan kita bisa memberi atau membantu solusi untuk mereka. Tapi untuk konteks sekarang di Bekasi akan banyak tantangan. Macet, belum pulang, dsb. Tapi itulah tantangan yang harus dijawab. Bagamana orangtua harus mau berproses. Mau membayar harga bahkan berkorban demi sang anak. Celakanya banyak orangtua yang bertahan dengan model didikan lama yang otoriter, tidak mau merangkul anak, istilah anak muda sekarang jaim (jaga imej) atau jawa wibawa, tidak ada komunikasi yang terbuka dengan anak alias bicara seperlunya. Bahkan tak sedikit yang berkonflik sehingga si anak memilih “kabur” dari rumah mencari kebebasan dan teman-teman yang “senasib”. Timbulah gank-gank anak muda, komunitas Punk, para Junkies, yang identik dengan kebebasan, narkoba dan free seks. Apakah itu yang kita harapkan terjadi pada anak-anak kita?

foto dari http://www.co.mendocino.ca.us

2 komentar:

Anonim mengatakan...

what a great artikel...
ttg sekolah minggu or artikel ttg how tobe a great teacher dunk...

Aha'! Mercusuar Seiri mengatakan...

Maju terus pa, Jangan pernah berhenti membaca dan jangan pernah ragu untuk menulis,..